READ MORE -

HUKUM BERPUASA KETIKA SAFAR



Kajian Kitab ‘Umdatul Ahkam yang diadakan pada acara rutin LKIBA Ma’had As-Salafy Jember telah sampai pada pembahasan ÈóÇÈõ ÇáÕøóæúãö Ýöí ÇáÓøóÝóÑö (Bab Puasa Ketika Safar). Berikut catatan ringkas dari pelajaran yang disampaikan oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi pada 1 Shafar 1431 / 17 Januari 2010 tersebut.


BAB PUASA KETIKA SAFAR

Asy-Syaikh ‘Abdullah Alu Bassam dalam kitabnya Taisirul ‘Allam Syarh ‘Umdatil Ahkam menyebutkan muqaddimah bab ini, beliau mengatakan:

Syari’at ini datang dengan hukum-hukum yang sangat mudah dan ringan, sebagai realisasi dari firman Allah subhanahu wata’ala:


“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj: 78).

Begitu pula Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam ayat-Nya yang lain:



“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185).

Karena bepergian (safar) itu pada umumnya terdapat padanya kesukaran (rasa berat) dan kesulitan, serta merupakan sebagian dari adzab, maka hal-hal yang berkaitan dengannya diringankan, di antaranya dibolehkan berbuka di siang hari (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan, ini adalah rukhshah (keringanan) yang disunnahkan, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:



“Puasa ketika bepergian itu tidak termasuk kebaikan.”

Keringanan ini umum, mencakup bepergian yang memayahkan ataupun bepergian yang santai (menyenangkan) karena hukum ini berdasarkan keumumannya.

Dengan hukum yang lunak seperti ini, kita mengetahui betapa perhatiannya syari’at yang mulia ini dalam memberikan keringanan, kasih sayang, kesesuaian waktu dan keadaan, serta menuntut (membebani kewajiban) kepada manusia sesuai dengan kemampuan mereka.

Kami rela Allah sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai Nabi kami.

Hadits ke-181


Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha -istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Apakah saya boleh berpuasa ketika bepergian (safar)?’ (Dan dia adalah orang yang sering puasa). Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Kalau engkau mau berpuasalah, dan kalau engkau mau berbukalah tidak berpuasa’.”

Dalam riwayat ini diterangkan bahwa shahabat Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami adalah orang yang cinta kebaikan dan banyak berpuasa, dan beliau adalah orang yang mempunyai fisik kuat, beliau bertanya kepada Rasulullah apakah boleh berpuasa dalam bepergian, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mempersilahkan untuk memilih antara berpuasa dan berbuka.

Pilihan untuk berpuasa atau berbuka bagi yang memiliki kekuatan melakukan puasa, yang dimaksud dengan puasa di sini adalah puasa Ramadhan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al-Hakim bahwa Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami berkata:


“Wahai Rasulullah, saya sering bepergian dengan jarak yang panjang, terkadang sampai bertepatan dengan bulan Ramadhan, sedangkan saya punya kekuatan untuk mengerjakannya, dan saya adalah seorang pemuda yang saya merasa lebih ringan untuk berpuasa saat itu daripada saya tunda sebagai hutang. Apakah kalau berpuasa wahai Rasulullah itu lebih besar pahalanya bagiku ataukah berbuka.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Terserah mana yang kau suka wahai Hamzah.”

Masih dalam pembahasan Bab Puasa Ketika Safar dari Kitab ‘Umdatul Ahkam, kali ini Al-Ustadz Ruwaifi’ menjelasakan rincian perbedaan pendapat para ulama tentang hukum berpuasa ketika safar. Hadits yang ke-182, 183, dan 184 dari kitab ini merupakan hadits-hadits yang kandungan maknanya secara zhahir saling bertentangan, sehingga dari sinilah para ulama -dengan ijtihad mereka- berbeda pendapat dalam beristinbath (menyimpulkan hukum) dalam permasalahan ini.

Hadits ke-182



“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Kami bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka orang yang berpuasa tidak mencela orang yang tidak berpuasa dan orang yang tidak berpuasa tidak mencela orang yang berpuasa.”

Faidah dari hadits ini:

1. Diizinkan untuk tidak berpuasa ketika bepergian.

2. Diamnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada shahabat yang tidak berpuasa atau yang puasa ketika safar, menunjukkan boleh memilih dari dua perkara tersebut, yaitu puasa atau tidak puasa, tetapi bagi yang tidak berpuasa harus mengqadha’nya di hari yang lain

Hadits ke-183


“Dari Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada bulan Ramadhan yang udaranya sangat panas, sehingga salah satu dari kami meletakkan tangannya di atas kepala untuk melindungi dari terik matahari, dan tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abdullah bin Rawahah.”

Faidah dari hadits ini:

Bahwa dalam keadaan panas pun ketika safar, tetap diperbolehkan puasa asalkan tidak memudharatkannya.

Hadits ke-184



“Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan pernah melihat sekumpulan orang dan seorang di antaranya dibawa ke tempat teduh, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Apa ini? orang-orang mengatakan bahwa dia sedang berpuasa, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bukan suatu kebaikan jika berpuasa di waktu bepergian.”

Dalam hadits ini dijelaskan bahwa berpuasa ketika safar merupakan amalan yang tidak baik, padahal dalam hadits yang lain, diberikan pilihan, boleh berpuasa dan boleh tidak. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah berpuasa ketika safar, bagaimana menyikapi hadits-hadits tersebut?

Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini

1. Pendapat pertama menyatakan bahwa tidak sah berpuasa dalam keadaan safar.

2. Pendapat kedua adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, menyatakan bolehnya memilih puasa atau berbuka bagi orang yang safar.

Pendapat pertama berdalil dengan:

1. Firman Allah subhanahu wata’ala:



“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 185)

Makna ayat ini adalah bahwa Allah ‘azza wajalla tidak mewajibkan puasa kecuali kepada orang-orang yang berada di tempat tinggalnya (tidak safar). Adapun bagi orang yang sakit dan safar, Allah subhanahu wata’ala wajibkan mereka untuk berpuasa di hari-hari yang lain.

2. Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma,



“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada waktu Fathu Makkah di bulan Ramadhan. Beliau berpuasa hingga tiba di Kura’ Al-Ghamim, maka orang-orang pun ikut berpuasa. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh supaya diambilkan semangkuk air minum, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkatnya hingga terlihat oleh orang-orang dan kemudian meminumnya. Setelah itu disampaikan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa masih ada sebagian orang yang berpuasa, maka beliau pun bersabda: “Mereka orang-orang yang membangkang, mereka orang-orang yang membangkang.”

3. Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:


“Bukanlah suatu kebaikan jika berpuasa pada waktu safar.”

Adapun pendapat kedua (pendapat jumhur ulama) berdalil dengan:

1. Hadits dari shahabat Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, hadits yang sudah kita bahas sebelum ini.

2. Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, juga sudah disebutkan (hadits ke-182).

3. Hadits Abud Darda radhiyallahu ‘anhu yang juga sudah disebutkan di atas (hadits ke-183).

Dalil yang digunakan oleh pendapat pertama telah dibantah oleh jumhur ulama dengan bantahan sebgai berikut:

1. Ayat tersebut sudah turun, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih berpuasa ketika safar dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling mengerti makna ayat tersebut, sehingga pendalilan yang dipakai oleh pendapat pertama terhadap ayat ini adalah kurang tepat. Juga maksud ayat tersebut adalah orang yang dalam perjalanan atau sakit dan mereka berbuka, maka wajib mengganti, adapun yang tetap puasa maka tidak wajib mengganti di hari yang lain.

2. Adapun sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam: “Mereka orang-orang yang membangkang.” Ini berlaku khusus bagi orang yang sebenarnya berat baginya untuk berpuasa namun dia masih tetap berpuasa, mereka dikatakan membangkang bukan karena puasa yang mereka kerjakan, akan tetapi karena tidak mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini yakni berbuka, padahal keadaan mereka sangat lemah, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi contoh kepada mereka untuk berbuka karena dikhawatirkan mereka akan mengira bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berpuasa ketika safar.

3. Adapun hadits: “Bukanlah suatu kebaikan jika berpuasa pada waktu safar.”, maksudnya adalah bahwa berpuasa ketika safar itu bukanlah termasuk kebaikan yang dianjurkan untuk saling berlomba-lomba melakukannya. Bahkan, terkadang berbuka itu lebih utama daripada berpuasa apabila puasanya itu akan menyebabkan kesulitan (rasa berat) atau bila berbuka itu bisa membantu persiapan orang-orang yang hendak berjihad. Allah subhanahu wata’ala senang jika ada seseorang yang mengambil (melaksanakan) rukhshah (keringanan)-Nya sebagaimana Dia subhanahu wata’ala membenci orang yang melakukan kemaksiatan kepada-Nya.

Pendapat jumhur ulama adalah pendapat yang lebih rajih (kuat), wallahu a’lam.

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=432 & http://www.assalafy.org/mahad/?p=467)
READ MORE - HUKUM BERPUASA KETIKA SAFAR

MEMBANTAH AHLUL BID'AH,SEBAB PERPECAHAN



Banyak orang mengatakan bahwa pihak-pihak yang membantah ahlul bid’ah mereka itu adalah penyebab perpecahan.
Asy-Syaikh Shalih Al-Fauzan hafizhahullah menjelaskan:
Benar, mereka itu adalah penyebab perpecahan (yakni yang membedakan dan memisahkan, pent) antara yang haq dengan yang batil, ini yang benar.

Kami membedakan/memisahkan antara yang haq dengan yang bathil, antara ahlul haq dengan ahlul bathil. Senantiasa kami akan membantah (kebatilan dan para pelakunya), demikian pula para ulama juga membantah mereka.
Yang seperti ini bukanlah untuk membikin perpecahan, akan tetapi justru ini untuk menyatukan umat di atas al-haq. Karena keberadaan umat manusia di atas kesesatan dan di atas pemikiran-pemikiran yang batil, inilah sesunggguhnya yang menyebabkan perpecahan antar umat Islam.

Adapun upaya untuk menjelaskan al-haq kepada mereka (umat Islam) adalah dalam rangka menyatukan umat di atasnya, maka inilah sesungguhnya dakwah kepada persatuan, bukan dakwah kepada perpecahan.

Dikatakan dakwah kepada perpecahan itu apabila tidak ada upaya untuk membantah ahlul bathil. Inilah sesungguhnya dakwah kepada perpecahan jika mereka memahaminya.

(Dari Ta’liq terhadap kitab Syarhus Sunnah, karya Al-Imam Al-Barbahari)

Diambil dari: http://sahab.net/forums/showthread.php?t=379463

(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=520)
READ MORE - MEMBANTAH AHLUL BID'AH,SEBAB PERPECAHAN

SIKAP SEORANG MUSLIM TERHADAP HARI RAYA ORANG KAFIR


Di negeri kaum muslimin tak terkecuali negeri kita ini, momentum hari raya biasanya dimanfaatkan sebaik-baiknya oleh orang-orang kafir (dalam hal ini kaum Nashrani) untuk menggugah bahkan menggugat tenggang rasa atau toleransi –ala mereka- terhadap kaum muslimin. Seiring dengan itu, slogan-slogan manis seperti: menebarkan kasih sayang, kebersamaan ataupun kemanusiaan sengaja mereka suguhkan sehingga sebagian kaum muslimin yang lemah iman dan jiwanya menjadi buta terhadap makar jahat dan kedengkian mereka.
Maskot yang bernama Santa Claus ternyata cukup mewakili “kedigdayaan” mereka untuk meredam militansi kaum muslimin atau paling tidak melupakan prinsip Al Bara’ (permusuhan atau kebencian) kepada mereka. Sebuah prinsip yang pernah diajarkan Allah dan Rasul-Nya .

HARI RAYA ORANG-ORANG KAFIR IDENTIK DENGAN AGAMA MEREKA
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Bahwasanya hari-hari raya itu merupakan bagian dari lingkup syariat, ajaran dan ibadah….seperti halnya kiblat, shalat dan puasa. Maka tidak ada bedanya antara menyepakati mereka didalam hari raya mereka dengan menyepakati mereka didalam segenap ajaran mereka….bahkan hari-hari raya itu merupakan salah satu ciri khas yang membedakan antara syariat-syariat (agama) yang ada. Juga (hari raya) itu merupakan salah satu syiar yang paling mencolok.” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal. 292)

SETIAP UMAT BERAGAMA MEMILIKI HARI RAYA
Perkara ini disitir oleh Allah didalam firman-Nya (artinya): “Untuk setiap umat (beragama) Kami jadikan sebuah syariat dan ajaran”. (Al Maidah: 48). Bahkan dengan tegas Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya bagi setiap kaum (beragama) itu memiliki hari raya, sedangkan ini (Iedul Fithri atau Iedul Adha) adalah hari raya kita.” (Muttafaqun ‘alaihi)
Akan tetapi muncul sebuah permasalahan tatkala kita mengingat bahwa orang-orang kafir (dalam hal ini kaum Nashrani) telah mengubah-ubah kitab Injil mereka sehingga sangatlah diragukan bahwa hari raya mereka yaitu Natal merupakan ajaran Nabi Isa ?. Kalaupun toh, Natal tersebut merupakan ajaran beliau, maka sesungguhnya hari raya tersebut -demikian pula seluruh hari raya orang-orang kafir- telah dihapus dengan hari raya Iedul Fithri dan Iedul Adha. Rasulullah bersabda:

“Sesungguhnya Allah telah mengganti keduanya (dua hari raya Jahiliyah ketika itu-pent) dengan hari raya yang lebih baik yaitu: Iedul Adha dan Iedul Fithri.” (H.R Abu Daud dengan sanad shahih)

SIKAP SEORANG MUSLIM TERHADAP HARI RAYA ORANG-ORANG KAFIR
Menanggapi upaya-upaya yang keras dari orang-orang kafir didalam meredam dan menggugurkan prinsip Al Bara’ melalui hari raya mereka, maka sangatlah mendesak untuk setiap muslim mengetahui dan memahami perkara-perkara berikut ini:
1. Tidak Menghadiri Hari Raya Mereka
Asy Syaikh Muhammad bin Shalih Al Utsaimin rahimahullah berkata: “Berbaurnya kaum muslimin dengan selain muslimin dalam acara hari raya mereka adalah haram. Sebab, dalam perbuatan tersebut mengandung unsur tolong menolong dalam hal perbuatan dosa dan permusuhan. Padahal Allah berfirman (artinya): “Dan tolong menolonglah kalian dalam kebaikan dan ketaqwaan dan janganlah kalian tolong menolong didalam dosa dan pelanggaran.” (Al Maidah:2)…..Oleh karena itu para ulama mengatakan bahwa kaum muslimin tidak boleh ikut bersama orang-orang kafir dalam acara hari raya mereka karena hal itu menunjukan persetujuan dan keridhaan terhadap agama mereka yang batil.” (Disarikan dari majalah Asy Syariah no.10 hal.8-9)
Berkaitan dengan poin yang pertama ini, tidak sedikit dari para ulama ketika membawakan firman Allah yang menceritakan tentang sifat-sifat Ibadurrahman (artinya): “(Yaitu) orang-orang yang tidak menghadiri kedustaan.” (Al Furqan:73), mereka menafsirkan “kedustaan” tersebut dengan hari-hari raya kaum musyrikin (Tafsir Ibnu Jarir…/….)
Lebih parah lagi apabila seorang muslim bersedia menghadiri acara tersebut di gereja atau tempat-tempat ibadah mereka. Rasulullah mengecam perbuatan ini dengan sabdanya:

“Dan janganlah kalian menemui orang-orang musyrikin di gereja-gereja atau tempat-tempat ibadah mereka, karena kemurkaan Allah akan menimpa mereka.” (H.R Al Baihaqi dengan sanad shahih)
2. Tidak Memberikan Ucapan Selamat Hari Raya
Didalam salah satu fatwanya, beliau (Asy Syaikh Ibnu Utsaimin) mengatakan bahwa memberikan ucapan selamat hari raya Natal kepada kaum Nashrani dan selainnya dari hari-hari raya orang kafir adalah haram. Keharaman tersebut disebabkan adanya unsur keridhaan dan persetujuan terhadap syiar kekufuran mereka, walaupun pada dasarnya tidak ada keridhaan terhadap kekufuran itu sendiri. Beliau pun membawakan ayat yaitu (artinya): “Bila kalian kufur maka sesungguhnya Allah tidak butuh kepada kalian. Dia tidak ridha adanya kekufuran pada hamba-hamba-Nya. (Namun) bila kalian bersyukur maka Dia ridha kepada kalian.” (Az Zumar:7). Juga firman-Nya (yang artinya): “Pada hari ini, Aku telah sempurnakan agama ini kepada kalian, Aku cukupkan nikmat-Ku kepada kalian dan Aku ridhai Islam menjadi agama kalian.” (Al Maidah:3)
Beliau juga menambahkan bahwa bila mereka sendiri yang mengucapkan selamat hari raya tersebut kepada kita maka kita tidak boleh membalasnya karena memang bukan hari raya kita. Demikian pula, hal tersebut disebabkan hari raya mereka ini bukanlah hari raya yang diridhai Allah karena memang sebuah bentuk bid’ah dalam agama asli mereka. Atau kalau memang disyariatkan, maka hal itu telah dihapus dengan datangnya agama Islam.” (Majmu’uts Tsamin juz 3 dan Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan 1/255)
Al Imam Ibnul Qayyim rahimahullah menjelaskan bahwa orang yang mengucapkan selamat kepada orang-orang kafir pada hari raya mereka, kalaupun dia ini selamat dari kekufuran maka dia pasti terjatuh kepada keharaman. Keadaan dia ini seperti halnya mengucapkan selamat atas sujud mereka kepada salib. (Ahkamu Ahlidz Dzimmah)
3. Tidak Tukar Menukar Hadiah Pada Hari Raya Mereka
Asy Syaikh Ibnu Utsaimin rahimahullah mengatakan: “Telah sampai kepada kami (berita) tentang sebagian orang yang tidak mengerti dan lemah agamanya, bahwa mereka saling menukar hadiah pada hari raya Nashrani. Ini adalah haram dan tidak boleh dilakukan. Sebab, dalam (perbuatan) tersebut mengandung unsur keridhaan kepada kekufuran dan agama mereka. Kita mengadukan (hal ini) kepada Allah.” (At Ta’liq ‘Ala Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal. 277)
4. Tidak Menjual Sesuatu Untuk Keperluan Hari Raya Mereka
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah menegaskan bahwa seorang muslim yang menjual barang dagangannya untuk membantu kebutuhan hari raya orang-orang kafir baik berupa makanan, pakaian atau selainnya maka ini merupakan bentuk pertolongan untuk mensukseskan acara tersebut. (Perbuatan) ini dilarang atas dasar suatu kaidah yaitu: Tidak boleh menjual air anggur atau air buah kepada orang-orang kafir untuk dijadikan minuman keras (khamr). Demikian halnya, tidak boleh menjual senjata kepada mereka untuk memerangi seorang muslim. (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.325)
5. Tidak Melakukan Aktivitas-Aktivitas Tertentu Yang Menyerupai Orang-Orang Kafir Pada Hari Raya Mereka
Didalam fatwanya, Asy Syaikh Ibnu Utsaimin mengatakan: “Dan demikian pula diharamkan bagi kaum muslimin untuk meniru orang-orang kafir pada hari raya tersebut dengan mengadakan perayaan-perayaan khusus, tukar menukar hadiah, pembagian permen (secara gratis), membuat makanan khusus, libur kerja dan semacamnya. Hal ini berdasarkan ucapan Nabi :
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum maka dia termasuk kaum tersebut.” (H.R Abu Daud dengan sanad hasan). (Majmu’uts Tsamin juz 3)

DOSAKAH BILA MELAKUKAN HAL ITU DALAM RANGKA MUDAHANAH (BASA BASI)?
Selanjutnya didalam fatwa itu juga, beliau mengatakan: “Dan barangsiapa melakukan salah satu dari perbuatan tadi (dalam fatwa tersebut tanpa disertakan no 1,3 dan 4-pent) maka dia telah berbuat dosa, baik dia lakukan dalam rangka bermudahanah, mencari keridhaan, malu hati atau selainnya. Sebab, hal itu termasuk bermudahanah dalam beragama, menguatkan mental dan kebanggaan orang-orang kafir dalam beragama.” (Majmu’uts Tsamin juz 3)
Sedangkan mudahanah didalam beragama itu sendiri dilarang oleh Allah . Allah berfirman (artinya): “Mereka (orang-orang kafir) menginginkan supaya kamu bermudahanah kepada mereka lalu mereka pun bermudahanah pula kepadamu.” (Al Qalam:9)

ORANG-ORANG KAFIR BERGEMBIRA BILA KAUM MUSLIMIN IKUT BERPARTISIPASI DALAM HARI RAYA MEREKA
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata: “Oleh karena itu, orang-orang kafir sangat bergembira dengan partisipasinya kaum muslimin dalam sebagian perkara (agama) mereka. Mereka sangat senang walaupun harus mengeluarkan harta yang berlimpah untuk itu.” (Iqtidha’ Shiratil Mustaqim hal.39).

BOLEHKAH SEORANG MUSLIM IKUT MERAYAKAN TAHUN BARU DAN HARI KASIH SAYANG (VALENTINE’S DAY)?
Para ulama yang tergabung dalam Lajnah Da’imah Lil Buhuts Al Ilmiyah Wal Ifta’ (Komite Tetap Kajian Ilmiah Dan Fatwa) Arab Saudi dalam fatwanya no.21203 tertanggal 22 Dzul Qa’dah 1420 menyatakan bahwa perayaan-perayaan selain Iedul Fithri dan Iedul Adha baik yang berkaitan dengan sejarah seseorang, kelompok manusia, peristiwa atau makna-makna tertentu adalah perayaan-perayaan bid’ah. Tidak boleh bagi kaum muslimin untuk berpartisipasi apapun didalamnya.
Didalam fatwa itu juga dinyatakan bahwa hari Kasih Sayang (Valentine’s Day)- yang jatuh setiap tanggal 14 Pebruari- merupakan salah satu hari raya para penyembah berhala dari kalangan Nashrani.
Adapun Asy Syaikh Shalih Al Fauzan hafidzahullah (salah satu anggota komite tersebut) menyatakan bahwa penanggalan Miladi/Masehi itu merupakan suatu simbol keagamaan mereka. Sebab, simbol tersebut menunjukan adanya pengagungan terhadap kelahiran Al Masih (Nabi Isa ?) dan juga adanya perayaan pada setiap awal tahunnya. (Al Muntaqa min Fatawa Asy Syaikh Shalih Al Fauzan 1/257). Wallahu A’lam.

(Sumber : http://www.assalafy.org/mahad/?p=89)
READ MORE - SIKAP SEORANG MUSLIM TERHADAP HARI RAYA ORANG KAFIR
READ MORE -
Diberdayakan oleh Blogger.

 
Design by Wordpress Theme | Bloggerized by Free Blogger Templates | coupon codes