HUKUM BERPUASA KETIKA SAFAR
Kajian Kitab ‘Umdatul Ahkam yang diadakan pada acara rutin LKIBA Ma’had As-Salafy Jember telah sampai pada pembahasan ÈóÇÈõ ÇáÕøóæúãö Ýöí ÇáÓøóÝóÑö (Bab Puasa Ketika Safar). Berikut catatan ringkas dari pelajaran yang disampaikan oleh Al-Ustadz Ruwaifi’ bin Sulaimi pada 1 Shafar 1431 / 17 Januari 2010 tersebut.
BAB PUASA KETIKA SAFAR
Asy-Syaikh ‘Abdullah Alu Bassam dalam kitabnya Taisirul ‘Allam Syarh ‘Umdatil Ahkam menyebutkan muqaddimah bab ini, beliau mengatakan:
Syari’at ini datang dengan hukum-hukum yang sangat mudah dan ringan, sebagai realisasi dari firman Allah subhanahu wata’ala:
“Dan Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan.” (Al-Hajj: 78).
Begitu pula Allah subhanahu wata’ala berfirman dalam ayat-Nya yang lain:
“Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesukaran bagimu.” (Al-Baqarah: 185).
Karena bepergian (safar) itu pada umumnya terdapat padanya kesukaran (rasa berat) dan kesulitan, serta merupakan sebagian dari adzab, maka hal-hal yang berkaitan dengannya diringankan, di antaranya dibolehkan berbuka di siang hari (tidak berpuasa) pada bulan Ramadhan, ini adalah rukhshah (keringanan) yang disunnahkan, berdasarkan sabda Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam:
“Puasa ketika bepergian itu tidak termasuk kebaikan.”
Keringanan ini umum, mencakup bepergian yang memayahkan ataupun bepergian yang santai (menyenangkan) karena hukum ini berdasarkan keumumannya.
Dengan hukum yang lunak seperti ini, kita mengetahui betapa perhatiannya syari’at yang mulia ini dalam memberikan keringanan, kasih sayang, kesesuaian waktu dan keadaan, serta menuntut (membebani kewajiban) kepada manusia sesuai dengan kemampuan mereka.
Kami rela Allah sebagai Rabb kami, Islam sebagai agama kami, dan Muhammad sebagai Nabi kami.
Hadits ke-181
Dari ‘Aisyah radhiyallahu ‘anha -istri Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam- bahwa Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami berkata kepada Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam: ‘Apakah saya boleh berpuasa ketika bepergian (safar)?’ (Dan dia adalah orang yang sering puasa). Maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Kalau engkau mau berpuasalah, dan kalau engkau mau berbukalah tidak berpuasa’.”
Dalam riwayat ini diterangkan bahwa shahabat Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami adalah orang yang cinta kebaikan dan banyak berpuasa, dan beliau adalah orang yang mempunyai fisik kuat, beliau bertanya kepada Rasulullah apakah boleh berpuasa dalam bepergian, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mempersilahkan untuk memilih antara berpuasa dan berbuka.
Pilihan untuk berpuasa atau berbuka bagi yang memiliki kekuatan melakukan puasa, yang dimaksud dengan puasa di sini adalah puasa Ramadhan. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam riwayat yang dikeluarkan oleh Abu Dawud dan Al-Hakim bahwa Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami berkata:
“Wahai Rasulullah, saya sering bepergian dengan jarak yang panjang, terkadang sampai bertepatan dengan bulan Ramadhan, sedangkan saya punya kekuatan untuk mengerjakannya, dan saya adalah seorang pemuda yang saya merasa lebih ringan untuk berpuasa saat itu daripada saya tunda sebagai hutang. Apakah kalau berpuasa wahai Rasulullah itu lebih besar pahalanya bagiku ataukah berbuka.” Maka Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Terserah mana yang kau suka wahai Hamzah.”
Masih dalam pembahasan Bab Puasa Ketika Safar dari Kitab ‘Umdatul Ahkam, kali ini Al-Ustadz Ruwaifi’ menjelasakan rincian perbedaan pendapat para ulama tentang hukum berpuasa ketika safar. Hadits yang ke-182, 183, dan 184 dari kitab ini merupakan hadits-hadits yang kandungan maknanya secara zhahir saling bertentangan, sehingga dari sinilah para ulama -dengan ijtihad mereka- berbeda pendapat dalam beristinbath (menyimpulkan hukum) dalam permasalahan ini.
Hadits ke-182
“Dari Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: ‘Kami bepergian bersama Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam. Maka orang yang berpuasa tidak mencela orang yang tidak berpuasa dan orang yang tidak berpuasa tidak mencela orang yang berpuasa.”
Faidah dari hadits ini:
1. Diizinkan untuk tidak berpuasa ketika bepergian.
2. Diamnya Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam kepada shahabat yang tidak berpuasa atau yang puasa ketika safar, menunjukkan boleh memilih dari dua perkara tersebut, yaitu puasa atau tidak puasa, tetapi bagi yang tidak berpuasa harus mengqadha’nya di hari yang lain
Hadits ke-183
“Dari Abud Darda’ radhiyallahu ‘anhu, ia berkata: kami pernah keluar bersama Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pada bulan Ramadhan yang udaranya sangat panas, sehingga salah satu dari kami meletakkan tangannya di atas kepala untuk melindungi dari terik matahari, dan tidak ada di antara kami yang berpuasa kecuali Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dan Abdullah bin Rawahah.”
Faidah dari hadits ini:
Bahwa dalam keadaan panas pun ketika safar, tetap diperbolehkan puasa asalkan tidak memudharatkannya.
Hadits ke-184
“Dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhu, dia berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam suatu perjalanan pernah melihat sekumpulan orang dan seorang di antaranya dibawa ke tempat teduh, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: Apa ini? orang-orang mengatakan bahwa dia sedang berpuasa, maka beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Bukan suatu kebaikan jika berpuasa di waktu bepergian.”
Dalam hadits ini dijelaskan bahwa berpuasa ketika safar merupakan amalan yang tidak baik, padahal dalam hadits yang lain, diberikan pilihan, boleh berpuasa dan boleh tidak. Bahkan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam sendiri pernah berpuasa ketika safar, bagaimana menyikapi hadits-hadits tersebut?
Para ulama berbeda pendapat dalam permasalahan ini
1. Pendapat pertama menyatakan bahwa tidak sah berpuasa dalam keadaan safar.
2. Pendapat kedua adalah pendapat jumhur (mayoritas) ulama, menyatakan bolehnya memilih puasa atau berbuka bagi orang yang safar.
Pendapat pertama berdalil dengan:
1. Firman Allah subhanahu wata’ala:
“Karena itu, barangsiapa di antara kamu hadir (di negeri tempat tinggalnya) di bulan itu, maka hendaklah ia berpuasa pada bulan itu, dan barangsiapa sakit atau dalam perjalanan (lalu ia berbuka), maka (wajiblah baginya berpuasa), sebanyak hari yang ditinggalkannya itu, pada hari-hari yang lain.” (Al-Baqarah: 185)
Makna ayat ini adalah bahwa Allah ‘azza wajalla tidak mewajibkan puasa kecuali kepada orang-orang yang berada di tempat tinggalnya (tidak safar). Adapun bagi orang yang sakit dan safar, Allah subhanahu wata’ala wajibkan mereka untuk berpuasa di hari-hari yang lain.
2. Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim rahimahullah, dari Jabir bin ‘Abdillah radhiyallahu ‘anhuma,
“Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam keluar pada waktu Fathu Makkah di bulan Ramadhan. Beliau berpuasa hingga tiba di Kura’ Al-Ghamim, maka orang-orang pun ikut berpuasa. Kemudian beliau shallallahu ‘alaihi wasallam menyuruh supaya diambilkan semangkuk air minum, beliau shallallahu ‘alaihi wasallam mengangkatnya hingga terlihat oleh orang-orang dan kemudian meminumnya. Setelah itu disampaikan kepada beliau shallallahu ‘alaihi wasallam bahwa masih ada sebagian orang yang berpuasa, maka beliau pun bersabda: “Mereka orang-orang yang membangkang, mereka orang-orang yang membangkang.”
3. Hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dari Jabir radhiyallahu ‘anhu, Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda:
“Bukanlah suatu kebaikan jika berpuasa pada waktu safar.”
Adapun pendapat kedua (pendapat jumhur ulama) berdalil dengan:
1. Hadits dari shahabat Hamzah bin ‘Amr Al-Aslami radhiyallahu ‘anhu, hadits yang sudah kita bahas sebelum ini.
2. Hadits Anas bin Malik radhiyallahu ‘anhu, juga sudah disebutkan (hadits ke-182).
3. Hadits Abud Darda radhiyallahu ‘anhu yang juga sudah disebutkan di atas (hadits ke-183).
Dalil yang digunakan oleh pendapat pertama telah dibantah oleh jumhur ulama dengan bantahan sebgai berikut:
1. Ayat tersebut sudah turun, tetapi Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam masih berpuasa ketika safar dan beliau shallallahu ‘alaihi wasallam adalah orang yang paling mengerti makna ayat tersebut, sehingga pendalilan yang dipakai oleh pendapat pertama terhadap ayat ini adalah kurang tepat. Juga maksud ayat tersebut adalah orang yang dalam perjalanan atau sakit dan mereka berbuka, maka wajib mengganti, adapun yang tetap puasa maka tidak wajib mengganti di hari yang lain.
2. Adapun sabda beliau shallallahu ‘alaihi wasallam: “Mereka orang-orang yang membangkang.” Ini berlaku khusus bagi orang yang sebenarnya berat baginya untuk berpuasa namun dia masih tetap berpuasa, mereka dikatakan membangkang bukan karena puasa yang mereka kerjakan, akan tetapi karena tidak mengikuti Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam dalam masalah ini yakni berbuka, padahal keadaan mereka sangat lemah, sehingga Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam memberi contoh kepada mereka untuk berbuka karena dikhawatirkan mereka akan mengira bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selalu berpuasa ketika safar.
3. Adapun hadits: “Bukanlah suatu kebaikan jika berpuasa pada waktu safar.”, maksudnya adalah bahwa berpuasa ketika safar itu bukanlah termasuk kebaikan yang dianjurkan untuk saling berlomba-lomba melakukannya. Bahkan, terkadang berbuka itu lebih utama daripada berpuasa apabila puasanya itu akan menyebabkan kesulitan (rasa berat) atau bila berbuka itu bisa membantu persiapan orang-orang yang hendak berjihad. Allah subhanahu wata’ala senang jika ada seseorang yang mengambil (melaksanakan) rukhshah (keringanan)-Nya sebagaimana Dia subhanahu wata’ala membenci orang yang melakukan kemaksiatan kepada-Nya.
Pendapat jumhur ulama adalah pendapat yang lebih rajih (kuat), wallahu a’lam.
(Sumber http://www.assalafy.org/mahad/?p=432 & http://www.assalafy.org/mahad/?p=467)
Diberdayakan oleh Blogger.